Untuk apa kita mempertahankan satu bahasa, jika misalnya, kita dihadapkan dengan kemajuan serta keperkasaan negeri-negeri jauh, yang asalnya asing dan pelan-pelan kita terima sembari meninggalkan segala yang pernah kita miliki? Jika pada akhirnya, persoalan bahasa tetaplah persoalan siapa kita, siapa yang kita bela, dan nilai apa yang kita anut, sejauh apa kita berani membayar untuk menebus harga kata-kata?
Penulis: erikfathul
Alumnus Ilmu Sejarah Unhas. Sedang melanjutkan studi magister pada bidang yang sama di Universitas Indonesia, Depok. Pegiat di Taman Baca Kapo'a.
“Kau akan merasa sangat merindukan rumah hingga rasanya ingin mati. Dan tidak ada yang bisa kau lakukan selain menanggung semuanya. Kau akan melaluinya, sebab itu tak akan membunuhmu.”
Kebudayaan, bahkan pada masa itu, tak pernah berdiri sendiri. Setidak-tidaknya, pada titik tertentu, kita dapat mengatakan bahwa globalisasi bukan sesuatu yang terjadi baru-baru ini. Namun, kebudayan yang membaur tidak serta-merta meleburkan struktur. Itulah alasan mengapa spektrum politik tetap eksis dan menuntut kedaulatan versi mereka masing-masing.
Pada akhirnya roman Arok Dedes menggambarkan kompleksitaspeta kudeta politik yang ‘disumbang’ Jawa untuk Indonesia.
Sebab, bukankah ini sesungguhnya angan-angan aliran realisme sosialis dalam sastra yang dianut Pramoedya? Agar karya-karyanya memiliki implikasi sosial, agar pembacanya terus belajar. Tidak berhenti pada kutipan-kutipan liris tentang senja dan kopi dengan pembaca merasa jadi orang paling merana di dunia.
“Remember, it’s one man, one place at the time, my solitary view point, about world i knew mostly nothing about.”